Urban Brawl #3 - unvlogging city
a go-vlog exercise
scene: *sign in twitter/x* *ngetik bacotan* *tab post* “kalo jadi content creator berbayar, hamba akan mengeksploitasi slice-of-life hamba sebagai akademisi menara gading yang jam 8 pagi bisa jalan ke gandaria tengah minum kopi enak karena ngajarnya cuma seminggu sekali”
Aku selalu suka ide-ide impulsif yang muncul dari kekesalanku melihat konten-konten di instagram dan tiktok tentang beraktivitas di Jakarta. Kekesalan ini bukan karena aku merasa lebih baik daripada para content creator--meskipun arogansi itu kerap muncul--namun lebih sering karena kedengkian kelas menengah ngehe alias “damn ngapain aku capek-capek kerja tapi penghasilan lebih kecil daripada KOL slice-of-life.” Sayangnya (atau untungnya?), semakin aku merasa kesal dan dengki, semakin gencar aku mempelajari pola-pola konten digital flaneur-flaneur Jakarta, termasuk persona-persona yang muncul dari ribuan konten tersebut. Dan tentu saja, kombinasi genre video slice-of-life dengan literasi (vlog buku/membaca/menulis) akan selalu menggugah sanubariku sebagai pengguna medsos dan akademisi milenal pick-me menara gading yang hampir seumur hidupnya terobsesi dengan everyday life sebagai subjek intelektual. (Aku dan Pepe pernah membicarakan vlogging di salah satu episode podcast huruhara kami).
Aku sempat bertanya pada seorang teman baik berinisial Hamba Cuan yang pernah masuk ke salah satu konten slice-of-life salah satu rekannya yang juga seorang content creator TikTok. Demikian percakapan bukan verbatim:
“Wah ada tangan sama suaramu.”
“Wah dijadiin konten.”
“Jadi kalau dia bikin video yang kayanya jalan sendirian, beneran sendirian nggak sih?”
“Nggak selalu.”
(((nggak selalu)))
Lalu aku memulai “penelitian” mendalam nan kurang berguna untuk mengira-ngira mana sih video soal berjalan di Jakarta sendirian yang betul-betul sendirian dan yang sebenarnya ada orang lain di situ. Tenang; aku tidak berhasil mendapatkan findings yang cukup baik untuk bisa ku ekstrak dan eksploitasi menjadi artikel jurnal akademik. Di saat yang sama, kegagalan decoding ini berhasil membuatku memikirkan mekanisme merangkai vlog untuk menjual gagasan dan estetika “alone but not lonely urban life” dengan tambahan catatan “as long as you have means to buy stuffs or go somewhere nice and niche.“ Jakarta mengalienasimu tapi tidak juga karena kamu bisa selalu lari di taman, membaca bebas di ruang-ruang terbuka (yang apakah betul terbuka kadang agak ambigu), atau menulis di kafe-kafe untuk menemukan ruang beradamu.
scene: scrolling TikTok, FYP *cling* writing vlog *cling* this one audience is rolling their eyes. Inilah aku dan arogansiku, tapi mungkin ini juga aku dengan pertanyaan panjangku tentang kurasi kisah dan ketergambaran hidup dalam algoritma dan ekonomi platform. Aku menghantam arogansiku sendiri.
Taman-taman dan perpustakaan-perpustakaan yang dibuka untuk publik di Jakarta pun beragam. Para urbanis dan aktivis literasi kota menangkap kebutuhan warga soal ruang yang tidak merawat hasrat konsumsi namun menanam rasa ingin tahu. Merdeka membaca, sekaligus bernafas secara sosial di luar kehidupan domestik dan rumah tangga, adalah juga menjaga kehidupan kota. Namun, usaha menciptakan dan terus mendesak ruang untuk hidup yang lebih sejahtera dan bermakna ini pun membuka zona abu-abu tentang apa hidup sehari-hari yang “enak,” “seru,” dan “berarti” di kota Jakarta.
Snippet macam apa yang harus kita pertontonkan? Langkah-langkahku di Fatmawati Raya, dan matahari terbenam di hari tanpa polusi terlalu pekat? Atau aku yang meneriaki pengemudi Alphard di gang Jalan Anggrek Setiabudi yang sempit itu? Atau kamu yang menunggu bus TiJe pengumpan di hari hujan deras? Atau kita yang berdesak-desakan di KRL? Atau buku-buku fiksi dan nonfiksi yang kita bawa dan baca? Atau jurnal-jurnal dan buku catatan moleskine leuchtturm1917 hobonichi rhodia midori muji northbooks? Atau kita yang melangkah ke acara kebudayaan kesenian dan kebendaan di sudut-sudut pergaulan Jakarta? Kehidupan literasi urbanku, literasi kita, telah menjadi sebuah produk. Kita tahu itu. Namun, kita pun merasa sedikit bebas karenanya. Alienasi kerja korporasi, ruang kerja eksploitatif, ketidakmungkinan kelas menengah, dan kita mencoba meraih kenikmatan estetika meski begitu rapuhnya. Inilah salah satu jalan pintas untuk keterasingan kita (ya kita, sang kelas menengah terkutuk) di Jakarta.
Angkat kameramu! Kita buat konten tentang menjadi sendiri bersama hari ini!
scene: pada sebuah malam, pada sebuah chat WA, jam sembilan malam. hey, let me drop a note. fuck writing/reading vlog, lets do thinking vlog and it’s just a 1.5 minutes of blurred videos bcs i do bengong-bengong without footages, talking & brainstorming with people without records, annotating papers without traces. rewinding vlog shit where contents become discontents.


